Pengusahaan hutan tropis luar Jawa dalam bentuk HPH mulai dilakukan secara besar-besaran pada awal-awal tahun 70-an setelah masuknya PMA. Istilah yang lebih tepat dari pengusahaan hutan adalah eksploitasi hutan, karena kegiatan utama pada saat itu hanyalah tebang… tebang... produksi… dan $....!! .
Read more
Dalam suasana begelimang $, berbagai bentuk dan dampak kerusakan hutan akibat pembalakan hutan, hampir tidak pernah disadari semua pihak termasuk para foresternya. Read more
Sukses HPH mengekstraksi tegakan hutan dan mencetak devisa yang dibutuhkan negara untuk menggerakkan roda pembangunan saat itu, seolah mengubur berbagai bentuk kegagalan penerapan dasar-dasar pengelolaan hutan berkelanjutan. Basis data, penguasaan kharakteristik lapangan, input teknologi dan tingkat reinvestasi ke dalam hutan serta historical data kelola hutan dan sistim monitoring dan evaluasi yang serba lemah, kesemuanya telah menyeret ke bentuk pengelolaan hutan tanpa arah. Tidak heran jika kemudian group musik New Rollies menangisi hilangnya sumber daya hutan lewat lagu karangan Oetje F Tekol yang bertitel “Kemarau”. Lagu yang pada tahun 1979 memperoleh penghargaan Kalpataru dari Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, karena dianggap memuat misi dan pesan lingkungan hidup. Mau tahu liriknya, niiich.… (buat intermezo…)
Panas nian kemarau ini
rumput-rumput pun merintih sedih
Resah tak berdaya
di terik sang surya
bagaikan dalam neraka
Curah hujan yang dinanti-nanti
tiada juga datang menitik
Kering dan gersang menerpa bumi
yang panas bagai dalam neraka
Mengapa, mengapa hutanku hilang
dan tak pernah tumbuh lagi
Mengapa, mengapa hutanku hilang
dan tak pernah tumbuh lagi
rumput-rumput pun merintih sedih
Resah tak berdaya
di terik sang surya
bagaikan dalam neraka
Curah hujan yang dinanti-nanti
tiada juga datang menitik
Kering dan gersang menerpa bumi
yang panas bagai dalam neraka
Mengapa, mengapa hutanku hilang
dan tak pernah tumbuh lagi
Mengapa, mengapa hutanku hilang
dan tak pernah tumbuh lagi
Untuk mampu mengawal kepercayaan atas hak pengelolaan hutan yang diberikan yang nota bene menyangkut bentang spasial puluhan juta hektar di luar Jawa, sudah seharusnya dipersiapkan bangunan sistem pengelolaan hutan yang kuat. Sistem yang didesain dengan tidak memasukkan unsur mengandalkan etik dan moral rimbawan. Idealnya adalah sistem pengelolaan hutan tersebut sistem yang mampu membuat rimbawan aparat maupun rimbawan HPH “baik” tetap enjoy memelihara moral baiknya karena sistem dan sebaliknya yang mampu memaksa rimbawan aparat maupun rimbawan HPH “nakal” tidak bisa melaksanakan bakat kenakalnya karena sistem.
Fakta menunjukkan, simpangan praktek pengelolaan hutan di luar Jawa yang telah berjalan selama lebih dari 30 tahun ternyata terlalu jauh dari kondisi idealnya. Kewajiban pelaksanaan reboisasi yang diberlakukan lewat Keppres no 35 tahun 1980 dan penggantinya Keppres no 31 tahun 1989 ternyata hanya efektif untuk penghimpunan dana non budgeter Departemen Kehutanan (Dana Reboisasi), sedangkan kegiatan reboisasinya sendiri praktis tidak berjalan efektif di lapangan. Bahkan lebih dari itu, dalam kondisi limit = zero monitoring dan evaluasi, banyak rimbawan yang mungkin pada awalnya baik, tergoda untuk berbuat moral hazard dengan melakukan dan menyetujui praktek tebang ulang/cuci mangkok, tebang luar blok bahkan tidak sedikit yang berkontribusi pada praktek illegal logging.
Fenomena tersebut menunjukkan sistem pengelolaan hutan di luar Jawa masih sangat lemah dan kental dengan unsur mengandalkan aspek etik dan moral rimbawan. Sebuah aspek yang sesungguhnya hanya Tuhan yang mampu mengukurnya, dan bukan oleh manusia. Hasilnya datalah yang berbicara.
Data perkembangan jumlah IUPHHK Hutan Alam s/d tahun 2005 (Dephut, 2005) menunjukkan terdapat 580 unit HPH/IUPHHK dengan total luas areal 61,38 juta hektar pada tahun 1992/1993. Tahun 2005 jumlah IUPHHK-HA yang tersisa tinggal 285 unit dengan total luas areal 27,72 juta hektar dengan trend penurunan terjadi setiap tahun. Kecuali pada tahun 2004 terjadi kenaikan jumlah IUPHHK sebanyak 20 unit dan kenaikan luas areal sebesar 0,02 juta hektar. Dapatkah hutan produksi produktif yang tinggal “sak emprit” dari sisi luas maupun kualitasnya ini dijaga kelestariannya? Jawaban pertanyaan tersebut sangat tergantung pada kekuatan sistem pengelolaan hutan yang berkembang, khususnya sistem monitoring dan evaluasinya.
Sayang sekali memang, karena kegegabahan pengelolaan hutan di masa lalu, kini sarjana kehutanan yang terlanjur berjibun jumlahnya, dengan terpaksa sebagian yang harus rela“hengkang dari habitatnya” untuk menghindari kepapaan. Yang lainnya pun untuk keselamatan hutannya hanya bisa berbuat dari jauh, “serambi hutan”. Barangkali ada juga yang telah masuk lebih dalam, namun ungkepnya suasana membuat ybs terpaksa keluar lagi dan rame-rame bertebaran di serambi hutan. Mudah-mudahan anak cucu kita tidak menggugat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar