Jumat, 29 Mei 2009

FORESTER RAME-RAME DI "SERAMBI" HUTAN

Pengusahaan hutan tropis luar Jawa dalam bentuk HPH mulai dilakukan secara besar-besaran pada awal-awal tahun 70-an setelah masuknya PMA. Istilah yang lebih tepat dari pengusahaan hutan adalah eksploitasi hutan, karena kegiatan utama pada saat itu hanyalah tebang… tebang... produksi… dan $....!! .

Selasa, 12 Mei 2009

GAYA HIDUP WONG SAMIN SELARAS ALAM

GAYA HIDUP WONG SAMIN SELARAS ALAM

Seberapa banyakkah yang tahu secara detail kehidupan kelompok masyarakat atau Wong Samin?? Kemungkinan tidak banyak. Bahkan masyarakat Blora dan Bojonegoro di mana konsentrasi terbesar kelompok masyarakat Samin berada, pada umumnya juga kurang banyak tahu. Pengetahuan tentang masyarakat Samin atau Sedulur Sikep umumnya hanya sebatas nama tokohnya Kyai Samin Soerosentiko yang lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. dan sebatas sebagai masyarakat lugu yang nganeh-anehi. Karenanya tidak heran jika ada teman yang bersikap aneh dan tidak wajar, secara spontan akan muncul olokan “dyasarr cah samin….”

Beruntung di dunia kasad mata sekarang telah cukup banyak buku-buku yang membahas tentang masyarakat Samin yang dengan mudah bisa didapatkan di toko-toko buku. Demikian pula di dunia maya yang tidak kasad mata ini, telah mulai banyak blog-blog yang mengupas seluk-beluk masyarakat Samin. Walaupun hampir semua artikel serba memaksa dahi untuk berkerut, tapi toh tetap saja mengasyikkan. Betapa tidak, karena kita akan tersampai pada pemahaman : a) Betapa sebelum Gandhi ngetop dengan gerakan swadhesi-nya ternyata mBah Samin kita telah melakukannya berpuluh-puluh tahun sebelumnya, b) betapa jauh sebelum mahasiswa Yogya bermain plesetan kata-kata, ternyata mBah Samin telah melakukan plesetan gaya hidup. c) betapa ditengah-tengah perjuangan fisik melawah Kompeni, mBah Samin justru secara cerdik mengembangkan perlawanan dalam bentuk yang lain, psi-war, sampai-sampai Kompeni judeg dan mBah Samin dibuang ke Sawahlunto (konon merupakan hukuman yang lebih berat ketimbang dibuang ke Nusakambangan).

Memang siih ada kekurangannya, yaitu mBah Samin gak sempat pesen-pesen soal reserve kepada penganutnya, sehingga hampir semuanya pada kebablasan Nyamin, meskipun negara sudah merdeka. Alhasil, mereka yang dulu sebenarnya hebat, kini dilihat sebagai kejanggalan. Tapi ya enggak semuanya…

Dalam artikel ini saya akan mencoba sharing beberapa cerita menarik tentang orang Samin yang terkumpul dari orang lain secara getok tular. Soal kebenarannya memang sulit diverifikasi ulang.

  • Alkisah pada tahun 70-an ada seorang penjual soto di dekat jembatan Kaliwangan Blora yang mempunyai kebiasaan jika lagi tidak ada pembeli, maka ia selalu menawarkan sotonya kepada orang yang lewat, dengan maksud agar mau mampir dan makan diwarungnya. Suatu ketika, saat lagi sepi pembeli, ada satu orang yang lewat di depan warungnya, insting penjual soto adalah seperti biasanya “mampir sik mas… nyoto….” (mampir dulu mas… nyoto….). Mendengar tawaran tersebut mampirlah orang itu dan makan soto dengan tenangnya. Setelah selesai iapun berkata : “aku wis bar mangan mas… matur nuwun….” (saya sudah selesai makan mas… terimakasih…) Seraya pergi meninggalkan warung soto tanpa kurang satu apapun. Meskipun belum membayar.

Kenapa tidak bayar?? Karena ijab-kabulnya ya cuma disuruh mampir makan dan sudah dilakoni selesai persoalan. Sadarlah si tukang soto seraya berujar “ Woalaah… lagiae buka dasar wis kenek wong samin….” (Woalaah… baru aja buka dasar sudah terkena orang samin…)

  • Masih tahun 70-an, pak Bupati Blora (Bpk Srinardi Alm) berkunjung ke Desa Klopoduwur (desa tempat kelompok Samin berkonsentrasi). Ditengah pembicaraan antara pak Bupati dengan masyarakat, tiba-tiba salah seorang berdiri dan nyelonong menghampiri pak Bupati dan memegang-megang celana pak Bupati sambil bertanya “kain iki kok apik emen, tukune ningdi caaah…? “ (kain ini kok bagus sekali belinya dimana ya..?) Walaupun wajar mungkinkah kita mampu melakukan apa yang dilakukan orang tersebut, he..he..he… Itulah kali jiwa merdeka masyarakat Samin. Semua manusia dianggap sederajat, berbicara juga cukup dengan bahasa jawa ngoko tidak ada boso kromo apalagi kromo inggil. Dan semua perbuatan dilakukan karena memang perlu dilakukan bukan basa basi seperti iklan “Sampurna Mild”, termasuk bertanya soal kain celana pak Bupati.

  • · Cerita-cerita dari beberapa orang yang lebih tua mengatakan, konon jika menyuruh orang Samin haruslah jelas dan definitif, karena kalau tidak bisa-bisa tidak mencapai seperti apa yang diinginkan. Misalnya menyuruh memagar halaman harus jelas dan lengkap, kalau tidak bisa jadi untuk bisa keluar dari halaman yang empunya rumah harus rela melompati pagar karena kemungkinan besar seluruh halaman akan dipagar tanpa dikasih pintu pagar. Demikian pula kalau menyuruh menyapu halaman ya harus jelas sampi bersih, kalau tidak ya memang halaman disapu tetapi tidak bersih karena tidak ada order sampai bersih.·

  • Konon, jika bertamu ke masyarakat Samin biasanya akan disuguh dengan segelas minuman (bisa kopi, bisa air putih, bisa juga teh). Jika sang tamu hanya meminum minuman suguhan tuan rumah ½ nya atau ¾ nya, maka tidak akan terjadi reaksi apapun dari tuan rumah. Semua akan berjalan normal-normal saja. Tetapi jika kali lain sang tamu datang lagi, maka tuan rumah akan menyuguh minumah dengan gelas yang berisi ½ atau ¾ saja. Walaupun tidak penuhnya gelas suguhan mungkin kita anggap tidak normal, tapi bagi tuan rumah hal itu adalah normal-normal saja. Kenapa..?? Karena sebelumnya daya minum tamu hanya ½ atau ¾ gelas saja. Logikanya kalau diberi suguhan minuman dengan isi penuh, pasti akan ada sisa minuman yang mubazir karena harus dibuang. Khan....??!! Inilah gaya hidup Samin selaras alam…!!!

Jika kemudian ada pertanyaan, apakah masyarakat Samin atau Sedulur Sikep ini sekarang masih ada ? Tidak tahu persis… yang jelas pada tahun 1999 saya pernah bertemu anggota komunitas masyarakat Samin atau Sedulur Sikep, bukan di Blora atau di Bojonegoro, tetapi justru di Bogor, nah khan….