Kamis, 25 Juni 2009

MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN HUTAN MELALUI PENILAIAN KINERJA PHAPL


Sampai dengan akhir tahun 90 an, pengelolaan hutan yang dilakukan oleh HPH/IUPHHK di Luar Pulau Jawa lebih berorientasi pada besaran produksi kayu, tanpa memperhatikan pengelolaan pada aspek lingkungan dan sosial. Demikian juga halnya dengan kegiatan pembinaan hutan untuk menjamin kontinyuitas produksi jangka panjang, kurang dijalankan secara serius. Kelestarian pengelolaan hanya menjadi slogan yang populer di dunia kehutanan, sedang fakta di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya. Laju degradasi hutan semakin tahun semakin besar. Areal tak berhutan di dalam areal kerja IUPHHK terus bertambah, kualitas tegakan semakin rendah dan fungsi agregasi hutan produksi sebagai perlindungan tata air dan konservasi keanekaragaman sumberdaya alam hayati menjadi tidak berfungsi maksimal. Teori yang menyatakan bahwa hutan merupakan sumberdaya alam yang bisa terperbaharui seolah hampir sama sekali tidak terbukti.

Kesalahan pengelolaan hutan yang berkepanjangan tersebut tidak lepas dari lemahnya kapasitas monitoring Pemerintah terhadap berbagai aktivitas Unit Manajemen HPH/IUPHHK di lapangan. Perbandingan yang tidak seimbang antara luas kawasan hutan yang harus dimonitor dengan jumlah petugas kehutanan, menjadikan monitoring yang efektif sebagai sesuatu yang mustahil dapat dilakukan tanpa melibatkan pihak lain. Dalam situasi pengelolaan hutan yang serba out of control tersebut, kelestarian pengelolaan hutan hanya sebatas pada data dan laporan administratif semata tanpa mampu dilakukan verifikasi kebenarannya di lapangan. Garbage in garbage out, rendahnya validitas data pengelolaan hutan yang dilaporkan Unit Manajemen IUPHHK kepada Pemerintah, menyebabkan berbagai kebijakan yang dihasilkan tidak pernah kompatibel untuk menjawab kondisi dan permasalahan aktual yang berkembang di lapangan.

Terobosan kebijakan Pemerintah untuk penguatan monitoring aktivitas HPH/IUPHHK di lapangan lahir ketika pada tahun 2002 secara bersamaan Menteri Kehutanan menerbitkan dua buah keputusan. Masing-masing adalah SK. Menhut No. 4795/Kpts-II/2002 tanggal 3 Juni 2002 yang menetapkan 4 kriteria dan 24 indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) dan SK. Menhut No. 4796/Kpts-II/2002 tanggal 3 Juni 2002 yang mewajibkan setiap IUPHHK untuk menjalani penilaian kinerja PHAPL (mandatory) oleh Lembaga Penilai Independen Mampu (LPI) setiap 3 tahun sekali. Keseriusan Pemerintah untuk memperbaiki kinerja pengelolaan hutan semakin tampak nyata ketika pada tahun 2002, 2003 dan selanjutnya berulang setiap 2 tahun sekali dilakukan proses seleksi untuk mendapatkan LPI Hutan Alam yang layak memperoleh akreditasi dari Menteri Kehutanan.

Selain LPI yang betugas melakukan penilaian melalui verifikasi lapangan, dalam sistim penilaian kinerja PHAPL ini terlibat pula unsur-unsur pakar kehutanan, lingkungan dan sosial independen sebagai Tim Evaluasi (TE) yang bekerja untuk melakukan evaluasi kelayakan kualitas dan obyektifitas hasil penilaian LPI dan Dewan Pertimbangan Verifikasi (DPV) untuk melakukan pertimbangan teknis obyektif jika terdapat ajuan surat keberatan dari UM HPH atas hasil penilaian LPI. Upaya peningkatan kualitas penilaian secara dinamis terus dilakukan melalui penyempurnaan metodologi. Sedang peningkatan kompetensi SDM dilakukan melalui penyertaan tenaga penilai pada pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Untuk memacu masing-masing LPI berkerja secara maksimal, dalam sistem penilaian ini dibelakukan reward and punishment terhadap kinerja LPI. Bagi LPI yang berdasarkan hasil penilaian TE menunjukkan kinerja baik akan mendapatkan reward dan sebaliknya bagi LPI yang menunjukkan kinerja buruk akan mendapatkan punishment sampai dengan penghentian statusnya sebagai LPI.

Selama 7 tahun berjalan sistem penilaian tersebut terbukti efektif untuk menghasilkan penilaian kinerja PHAPL yang independen, komprehensif dan obyektif. Integritas dan kompetensi tim penilai LPI berhasil terbangun dengan baik dan kalis dari berbagai tindak penyimpangan. Syarat kompetensi dan kualifikasi tim penilai terus ditingkatkan. Demikian pula dengan metodologi penilaian, dari tahun ke tahun terus dilakukan pengembangan dan penajaman. Konsistensi nilai kinerja dari 24 indikator PHAPL yang dinilai, dipelihara dengan penyusunan bentuk relational antar indikator. Semuanya dilakukan untuk memperoleh hasil penilaian akurat dan komprehenship.Untuk menjamin ketajaman hasil penilaian setiap indikator dijabarkan lebih lanjut ke dalam beberapa verifier yang relevan dan dilengkapi dengan standar bobot kematangan verifier. Verifier tersebut dapat berbasis input, berbasis legal, berbasis proses dan berbasis out-put.

Untuk melengkapi sistem penilaian yang fair, masing-masing verifier dalam satu indikator lebih lanjut didiskripsikan menjadi verifier dominan, verifier co-dominan dan verifier penunjang. Untuk HPH yang masa operasinya relatif muda (≤ 5 tahun) verifier dominan akan difokuskan pada varifier berbasis input atau berbasis proses. Sebaliknya untuk UM IUPHHK yang masa operasinya relatif tua (lebih dari 5 tahun) verifier dominan akan difokuskan pada verifier berbasis out put.

Proses pelaksanaan penilaian setiap verifier hampir pasti akan selalu menghadirkan analisis kesesuaian antara data alokasi keuangan (rencana dan realisasi), data administrasi/laporan kegiatan (rencana dan realisasi), serta croschecking lapangan untuk menverifikasi tingkat kebenaran data dan verifikasi kualitas hasil kegiatan di lapangan. Semuanya dilakukan untuk memperoleh hasil penilaian akurat dan komprehenship. Sehingga UM yang memperoleh nilai “sedang” atau “baik” adalah karena memang dapat dibuktikan benar-benar memiliki dukungan data dan aktivitas lapangan dengan kualitas yang sepadan.

Tidak ada pilihan lain bagi UM IUPHHK untuk mencapai peringkat kinerja “Sedang” atau “Baik” kecuali dengan melakukan seluruh hak dan kewajiban pengelolaan hutan secara nyata, dengan teknis yang benar dan bertanggungjawab di lapangan. Dengan diberlakukannya sistem penilaian kinerja PHAPL yang substansinya adalah verifikasi sampai dengan tingkat lapangan, modus-modus pengelolaan hutan yang menyimpang dari azas kelestarian tidak lagi mungkin dapat ditutupi dengan kiat manipulasi administrasi data tabular maupun spasial. Hal ini dapat ditilik dari hasil penilaian kinerja PHAPL tahap satu yang lebih dari 50 % menunjukkan peringkat kinerja buruk. Ketika rekomendasi perbaikan kinerja yang dibuat LPI pada penilaian tahap I oleh UM IUPHHK ditindaklanjuti dengan action plan yang secara konsisten dilaksanakan di lapangan, rata-rata hasil penilaian kinerja tahap II menunjukkan kondisi terjadi peningkatan peringkat kinerja menjadi “Sedang” atau lebih baik dari hasil penilaian kenerja tahap I.

Sistem penilaian kinerja PHAPL UM IUPHHK yang oleh Pemerintah dibangun untuk meningkatkan kapasitas monitoring pengelolaan hutan lestari, telah sedemikian teliti dan bersifat traceable. Melalui sistem penilaian kinerja PHAPL, semua aktivitas UM di lapangan dapat dipastikan akan terpotret secara obyektif. Hasil penilaian kinerja PHAPL yang obyektif ini beserta data pendukungnya yang komprehensip, ke depan sangat diharapkan akan menjadi masukan yang baik bagi Pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang kompatibel dengan permasalahaan aktual di lapangan. Istilah Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang nyaris hanya bersifat sloganistis, melalui sistem penilaian kinerja PHAPL ke depan ada harapan untuk direalisasikan. Diperlukan keterlibatan para pihak untuk terus menjaga dan mengawal berjalannya sistem penilaian kinerja PHAPL, agar kejayaan sektor kehutanan dapat diraih kembali.

Wongsamin.

Senin, 08 Juni 2009

AMBALAT, THE NATION’S DIGNITY AND STRUGGLE


Children games “go back to door" or more popular called " gobaksodor" that is being carried out by ships of war Malaysian navy when repeatedly entering the border area around the Indonesian islands Ambalat. Aim is to provoke Indonesia war ship to maintain Ambalat, the island's rich potential of oil. Unfortunately in the field such as the fact that made many print and electronic media show, with the only supported the war ships have started weak, courage of Indonesian navy can not afford to do a lot of games against Malaysia that nuances harassment of the nation's dignity.

The age of war ships and combat equipment that is old has made Indonesian navy less successful game against Malaysia in the sea around Ambalat island. The phenomenon is a portrait issues the low budget allocation for the Department of Defense faced from time to time. In 2000, the government allocated a budget of Rp 10. 5 trillion, which increased slowly until a year back on the amount of Rp 36.4 trillion. In the year 2009 now, the government back down defense budget to around Rp 35.0 trillion. Indonesia Department of Defense budget will be small when the Indonesian government issued a policy for cutting the budget of each department budget around 3.9 percent of public service, so that the corrected defense budget to Rp 33.635 trillion.

The low budget allocations for defense is also recognized in the President SBY notice when directly reviewing the flat housing of presidential security troops (Paspanpres) in the Village Cinangka Bojong, Bogor, West Java, which was also attended by Minister of Defense Juwono Sudarsono, Minister of Communication and Information M. Noah, Jenderal TNI Djoko Santoso and Cabinet Secretary Sudi Silalahi, Monday (25 / 5): "if the ideal approach to the defense budget is far from adequate." The President also stated with the development growth of the economy, the defense budget should be increased. The increase in budget for the modernization of weapons systems, including operating and maintenance costs, and welfare of soldiers. If the budget increase, expected to be close with the minimun essential fund to pay for the minimum essential forces. But now defense fund of Rp 33.635 trillion, expected to be used as well as possible for operational costs, education and training, maintenance, cost and Welfare survive procurement costs or moderenisation of means equipment defense system (alutsista).

This means that issues around Minimun essential fund to pay for the minimum essential forces will still be held up to the national membaiknya situation perkonomian. As Ministry of Defence mentioned, with budget allocation of maintenance and treatment tool main military weapon system only under ten percent that ideally is 20 to 25 percent, the ability to maintain the span of each country will be very low, especially considering the equipment if the military weaponry that has been most the age of 20 years. The condition of real ability for the defense budget of Indonesia should be important considerations in determining the attitude on the crisis with the boundaries of Malaysia in the Ambalat island sea region, especially for a lot of you that our compatriot Indonesia are very passionate and can not wait to do the physical resistance.

Football Malaysia lunge for the islands of Sipadan and Ligitan Indonesia, gain together management rights over the dispute area with Thailand, close eye on logging along the border Indonesia - Malaysia in Kalimantan by Malaysian citizens, close eye on the out illegal logging of timber after signing the agreement termination of illegal timber trade and the other negative actions, all more than enough to illustrate how the neighbor country government desires to reach via the justification of sin with all the way up. With its machiaveli knowledge that, behind the action provocation Malaysian navy who repeatedly enter the boundaries of Indonesia, there are certain scenarios that have been prepared by the neighbor country to repeat success with the Sipadan and Ligitan islands. Ambalat is new targets which make very interested because of the oil potential.

That in the case of islands Ambalat stronger position because Indonesia has more active activities to do first since 1980 is a true fact, however can not make the Indonesian government over confidence. To consider Malaysian government strategy with all the deception that can swallow islands Sipadan and Ligitan and get the together management right over the dispute arae with Thailand, is a signal that in this Ambalat matter, the Indonesian government must be serious and should not be remiss. Although in substance Malaysia is nothing to lose, but to consider the size of the opportunity that will be victorious if, it can be ascertained Malaysia would never budge in the negotiations table as such. The grand scenario prepared by Malaysia to win the Ambalat dispute is likely to:

  1. Conducting provocation in the field with two target, fist to attract attention and build international opinion that Ambalat islands is dispute area between Malaysia and Indonesia and second to disrupt the concentration of the Indonesian government's focus on peaceful settlement of disputes through negotiations.
  2. Simulate a settlement through negotiation table with the target to build international opinion that Malaysia is a cooperative, courteous and polite country.
  3. Strive to use the map boundaries are made unilaterally by Malaysia in 1979 as a basis for the settlement of boundary negotiations with the target lead to the dead lock negotiation, so that the settlement of ownership disputes Ambalat Blocks completed through the law to the International Court
  4. Using the strength of a lobby to influence the decision making process International Court to meet the Malaysia desire to win, even have to re-use the "funny-funny" basic consideration of the decision, as well as the International Court had done when deciding the case of disputes Ligitan and Sipadan islands.

With the grand scenario predicted that Malaysia is prepared, even though Indonesia has a strong position but now have to start preparing ourselves with :

  1. The carefully explore and find alternative candidates local and foreign lawyers are eligible to use and experienced in international courts.
  2. Forward and increase the intensity of care boundaries state in the Ambalat sea region with the addition of the fleet and troops.
  3. Building on the strength of international lobby which is better and more intensive

If Indonesia get a victory in the International Court, it is as expected and all the Indonesian people should say thank you on the greatness of God with the word Alhamdulillah (for the Muslims). Conversely, if Indonesia have to lose for the second time, that the Indonesian people should accept and stay silent ? For the case of loss of Sipadan and Ligitan islands what can make the government of Indonesia has received for good relations with neighboring countries, but for cases Ambalat it is up to the limit of tolerance in relations between the neighbors. The Government of Indonesia should dare to say No ..!!. even to the International Court decision. Did we also dare to refuse assistance IGGI, when too much IGGI set plans for the use of aid provided ? Did we also dare to say “ IMF please go to hell ... !! when the IMF is too much pressure on Indonesia to do with the economic recovery recipe that is not effective?

If the path does not reach an agreement negotiations or dead lock and the law at the International Court is not successful, then to maintain the sovereignty of the nation, in order to maintain the dignity of the nation and giving effect to the neighbor country that has been doing a lot of cheating and even harassment, so all Indonesian citizens expect the government Indonesia to use the final decision. War physical

That the modernity of the equipment and weaponry Indonesia may have to be a little less, but with the benefits of a significant amount, Indonesia will lose ?? Need to be evidenced in the field. Is Indonesia defeated Malaysia or Indonesia who beat the Malaysia.??

Defeat Malaysia.....

Victory Ambalat ......

Victory Indonesia.....

Congratulations struggle ...!!!

WONGSAMIN

Selasa, 02 Juni 2009

AMBALAT, ANGGARAN PERTAHANAN DAN KEBERANIAN



Permainan “go back to door” atau populernya “gobaksodor” itulah yang sedang dilakukan oleh kapal perang Malaysia ketika secara berulang kali memasuki batas wilayah NKRI sekitar pulau Ambalat untuk memprovokasi kapal perang Indonesia yang sedang menjaga pulau yang berpotensi kaya minyak itu. Sayangnya fakta di lapangan seperti yang ramai diberitakan media cetak dan elektronik menunjukkan, dengan hanya ditunjang kapal perang yang sudah mulai uzur kegagah beranian TNI AL tak mampu berbuat banyak meladeni permainan Malaysia yang bernuansa pelecehan martabat bangsa.

Keuzuran peralatan perang yang berujung ketidakberdayaan kapal perang kita mengimbangi permainan gobaksodor Malaysia di perairan Ambalat tersebut merupakan sebuah potret persoalan rendahnya alokasi anggaran yang selalu menyelimuti perjalanan Departemen Pertahanan RI. Pada tahun 2000, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp10,5 triliun, yang meningkat secara perlahan hingga pada setahun silam berjumlah Rp 36,4 triliun. Pada tahun 2009 ini pemerintah kembali menurunkan anggaran pertahanan menjadi sekitar Rp35 triliun. Namun, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemotongan anggaran masing-masing departemen sekitar 3,9 persen anggaran pelayanan publik, sehingga anggaran pertahanan menjadi Rp 33,635 triliun.

Rendahnya alokasi anggaran pertahanan tersebut juga diakui Presiden SBY dalam penyataannya saat meninjau langsung flat perumahan dinas pasukan pengamanan presiden (Paspampres) di Desa Bojong Cinangka, Bogor, Jawa Barat, yang juga dihadiri Menhan Juwono Sudarsono, Menkominfo M. Nuh, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso serta Seketaris Kabinet Sudi Silalahi, Senin (25/5) : "Anggaran pertahanan kalau menggunakan pendekatan yang ideal jauh dari memadai”. Presiden juga menyatakan dengan bangkitnya pembangunan perekonomian, maka anggaran pertahanan harus ditingkatkan. Kenaikan anggaran itu untuk modernisasi sistem persenjataan, termasuk biaya operasi dan pemeliharaan, serta kesejahteraan prajurit. Bila anggaran naik, kenaikannya diharapkan dapat mendekati minimun essential fund untuk membiayai minimum essential forces. Namun dana pertahanan sekarang sebesar Rp 33,635 triliun, diharapkan dapat digunakan sebaik-baiknya untuk biaya operasional, pendidikan dan pelatihan, pemeliharaan, biaya kesejahteran dan secara bertahan biaya pengadaan atau moderenisasi alutsista.

Artinya persoalan sekitar minimun essential fund untuk membiayai minimum essential forces masih akan berlangsung sampai dengan membaiknya situasi perkonomian nasional. Dengan alokasi anggaran pemeliharaan dan perawatan alat utama sistem senjata TNI hanya di bawah sepuluh persen dari yang idealnya menurut Menhan adalah 20 hingga 25 persen, maka kemampuan untuk mempertahankan setiap jengkal tanah tumpah darah akan sangat rendah, terlebih jika mempertimbangkan peralatan persenjataan TNI yang sebagian besar telah berusia lebih dari 20 tahun. Kondisi riil kemampuan dukungan anggaran untuk sektor pertahanan negara tersebut harus menjadi pertimbangan penting dalam menyikapi krisis batas wilayah di perairan pulau Ambalat dengan negara Malaysia, khususnya untuk banyak saudara sebangsa dan setanah air kita yang sudah sangat geram dan tidak sabar untuk melakukan perlawanan fisik.

Sepak terjang negeri Jiran mendapatkan pulau Sipadan dan Ligitan dari Indonesia, mendapatkan hak pengelolaan bersama areal sengekta dengan Thailand, mencuri isi hutan Kalimantan di sepanjang perbatasan Indonesia – Malaysia, menjadi penadah kayu illegal logging setelah menandatangani kesepakatan penghentian perdagangan kayu illegal dan berbagai ulah yang lain, semuanya sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana pemerintah negeri Jiran meraih keinginannya melalui jalan dosa penghalalan semua cara. Dengan ilmu machiaveli-nya itu, dibalik ulah provokasi angkatan laut Malaysia yang berulangkali memasuki batas wilayah perairan Indonesia, pasti ada skenario besar yang telah disiapkan pemerintah negeri Jiran untuk mengulang sukses Sipadan dan Ligitan dengan sasaran baru pulau Ambalat yang bikin ngiler karena minyaknya.

Bahwa dalam hal pulau Ambalat posisi Indonesia lebih kuat karena telah lebih dulu melakukan okupasi aktif sejak tahun 1980 adalah sebuah kebenaran fakta, yang walaupun demikian tidak boleh membuat pemerintah over confidence. Menghadapi Malaysia yang dengan segala kecurangan dan kelicikannya mampu sukses mencaplok pulau Sipadan dan Ligitan maupun mencaplok ½ dari daerah sengketa dengan Thailand, merupakan sinyal bahwa untuk urusan Ambalat ini pemerintah Indonesia harus serius dan tidak boleh gegabah. Walaupun pada hakekatnya nothing to lose tapi karena besarnya opportunity yang akan diraih jika menang, dapat dipastikan Malaysia tidak akan pernah mengalah begitu saja di meja perundingan. Grand scenario yang dipersiapkan oleh Malaysia kemungkinan besar adalah :

  1. Melakukan provokasi di lapangan dengan target untuk menarik perhatian dan membangun opini dunia bahwa Malaysia memiliki hak atas Ambalat dan mengganggu konsentrasi pemerintah Indonesia dari focus penyelesaian sengketa secara damai melalui jalur perundingan.
  2. Berpura-pura membuka penyelesaian melalui meja perundingan dengan target membangun opini internasional bahwa Malaysia adalah negara yang cooperative dan beradab.
  3. Berpegang teguh pada data dan peta batas wilayah yang dibuat secara sepihak dengan target untuk membuat perundingan ke arah dead lock dan penyelesaian sengketa penguasaan Blok Ambalat dibawa ke jalur Hukum dan Mahkamah International.
  4. Menggunakan kekuatan lobbynya untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan Mahkamah International untuk memenangkan Malaysia meskipun harus dengan menggunakan kembali dasar pertimbangan keputusan yang ”lucu-lucu”, tetapi yang penting bisa menang.

Dengan prakiraan grand scenario tersebut, Indonesia sejak sekarang meski berposisi lebih kuat perlu mempersiapkan diri dengan :

  1. Secara seksama mencari dan mencermati alternatif calon-calon pengacara asing dan dalam negeri yang layak digunakan dan berpengalaman dalam pengadilan internasional.
  2. Menambah armada dan pasukan untuk peningkatan intensitas penjagaan batas wilayah negara di perairan pulau Ambalat
  3. Membangun kekuatan lobby international/Mahkamah International yang lebih baik dan lebih intensif.

Jika Indonesia menang di tingkat Mahkamah International, itu adalah yang diharapkan dan harus disyukuri dengan ucapan Alhamdulillah (bagi yang muslim). Sebaliknya jika harus kecolongan untuk yang kedua kalinya akankah bangsa Indonesia terima dan tinggal diam. Untuk kasus kecolongan Sipadan dan Ligitan apa boleh buat, tetapi untuk Ambalat rasanya kita harus mulai berani mengatakan tidak..!!. sekalipun itu keputusan Mahkamah International. Bukankah kita juga berani mengatakan tolak IGGI ? bukankah kita juga pernah berani mengatakan go to hell IMF ? Jika jalur perundingan, hukum dan Mahkamah International tidak berhasil, maka mau tidak mau demi mempertahankan kedaulatan bangsa, demi menjaga kemartabatan bangsa dan pemberian efek jera kepada negeri Jiran yang sudah banyak berlaku kurang ajar, harus digunakan jalan terakhir, perang fisik...!

Bahwa dari sisi modernitas peralatan dan persenjataan Indonesia mungkin sedikit kalah harus diakui, tetapi dengan keunggulan sisi jumlah yang signifikan, akankah Indonesia kalah? Perlu dibuktikan.... kita yang diganyang atau kita yang mengganyang Malaysia.

Hidup Indonesiaku....!

Lindungi Ambalatku......!

Merdeka.....!!!

Salam Perjuangan

Wongsamin