Seperti
biasa setiap kali pulang ke Blora, setelah urusan pokok selesai di siang hari,
malamnya selalu lebih banyak terisi dengan acara ngobrol bersama kawan-kawan
SMA seangkatan. Malam itu meskipun hanya berdua tapi kami asyik ngobrol seolah topik pembicaraan tidak pernah ada habisnya.
Tak terasa malam telah larut. Jalan Gunung Lawu ujung di depan rumah kawan yang
memang termasuk kelas sepi, malam itu benar-benar jadi terasa lebih sepi. Hanya
sesekali motor anak muda dengan knalpot “setan” melintas dengan suara
memekakkan telinga. Ketika kulihat jam di hand phone ku, ternyata telah
menunjukkan pukul 23.15. Istilahnya di kalangan kawan-kawan “sudah hampir jam
cilik”.
Kalau
orang normal, mestinya kami harus menyudahi kebersamaan malam itu, karena jam
03.00 dini hari saya harus sudah start lagi menuju Rembang untuk mencari bis
dari Surabaya ke Semarang, agar tidak “kepancal”/ketinggalan pesawat jam 08.30
ke Jakarta. Karena kami berdua sama-sama menggunakan ilmu “aji mumpung” yang
terjadi malah sepakat dengan acara spontanitas, mampir ke dukuh Karangpace Desa
Klopoduwur. Sebuah dukuh dimana tinggal seorang tokoh masyarakat Samin yang
sehari-harinya biasa dengan nama mbah Lasiyo. Cucu Canggah mBah Engkrek yang
dalam berbagai artikel sejarah disebut sebagai salah satu tokoh pengikut Samin
Surosentiko.
Jalan
Gunung Lawu terlihat sepi dan agak gelap karena rumah dan toko di sepanjang
jalan sudah tertutup rapat. Detak kehidupan Blora di malam hari mulai terasa setelah
sampai di Grojogan, perempatan antara Jl. G. Lawu dengan Jl. Pemuda, jalan
protokol yang membujur dari arah timur Kota Blora sampai dengan Alon-alon. Beberapa
speda motor terlihat di parkir di depan warung nasi pecel turun temurun di
pojok perempatan Grojogan yang sekarang dikelola Bandi dan Istrinya. Beberapa
polisi giliran piket berbincang-bincang sambil berjaga di depan kantor Polantas
(dulunya kantor Polres). Sesekali kami berpapasan
dengan mobil dan speda motor yag melintas di jalan protokol itu. Beberapa
warung tenda di atas trotoar terlihat sudah siap-siap kukut/tutup.
Suasana
yang berbeda terasa ketika sampai di Alon-alon, sebuah lapangan berukuran kurang lebih 1 hektar yang terhampar di tempat
paling tinggi di tengah kota Blora. Pohon beringin tua yang dihiasi lampu
warna-warni masih tampak kokoh berdiri tepat di tengahnya. Puluhan pedagang
lesehan di seputar alon-alon tampak masih ramai dikunjungi para pemuda yang
sedang kongkow-kongkow. Kalau sedang kosong acara, untuk menghangatkan badan
sering juga saya dengan kawan-kawan memesan segelas wedang jahe susu di warung Pak Jan yang tepat berada
di depan mesjid Gede (sebutan untuk mesjid Agung An-Nur).
Karena
tujuannya adalah desa Klopoduwur, malam itu kami hanya melintasi seperempat
putaran alon-alon dengan melintasi Bank BRI dan Bank Mandiri sebelum akhirnya
belok ke selatan menyusuri jalan Mr. Iskandar. Suasana ramai kehidupan Blora di
malam hari masih terasa ketika kendaraan melintas di Koplakan, sebuah tempat
yang dahulu kala adalah Terminal Colt tapi telah disulap menjadi pusat kuliner
sate ayam (kampung) Blora yang sudah top-markotop karena rasanya. Di tempat ini
sepertinya tidak ada istilah malam. Warung nasi Tun Pek yang tepat berada di
totogan Jl. Gatot Subroto terlihat sangat ramai. Situasi yang tidak berbeda
juga terlihat warung nasi Putri Malam maupun warung Yu Sumirah. Bahkan tukang
becak pun masih methangkring di atas becaknya seolah siap mengantar
penumpang/barang.
Satu
hal yang menarik di kawasan ini adalah tentang “daun jati”. Daun jati yang akan
kering menjadi “klaras” jika tidak dimanfaatkan, hampir 100 % telah menggantikan fungsi
piring. Semua pesanan oleh mBak Tun Pek akan disajikan diatas pincuk daun jati,
terkecuali ada permintaan khusus dari pembeli untuk menggunakan piring.
Budaya
menggunakan daun jati yang juga merupakan salah satu daya tarik Blora ini, beberapa
tahun lalu sudah mendekati “punah” dikarenakan
aktifitas pengambilan daun jati oleh masyarakat hampir selalu dikorelasikan
dengan urusan keamanan hutan yang dikelola Perhutani. Namun sejak berkembangnya
PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dan Hutan Rakyat, setiap dini hari kini
selalu dapat dilihat rombongan-rombongan kecil anggota “darma wanita”
masyarakat sekitar hutan yang berjalan sambil menggendong dua-tiga gulungan
daun jati berdiameter sekitar 60 cm untuk dijual ke Pasar Gede Blora dengan
harga Rp 25.000 per gulung. Rating daun jati telah benar-benar top lagi untuk menggantikan
fungsi piring. Sebuah potret fenomena kehidupan yang selaras alam.
Semakin
bergerak ke arah selatan tepatnya setelah melintasi simpang empat Gedung GNI
(sekarang menjadi Kantor Dinas PU), meskipun terang tapi suasananya terlihat sepi.
Lepas dari batas desa Kaliwangan sisi selatan, lampu penerang jalan tidak
terlihat lagi. Di sepanjang jalan yang berpeneduh pohon Trembesi dan Mahoni, untuk bisa melihat ruas jalan hanya mengandalkan sorot cahaya lampu kendaraan. Selang 10 menit-an, dari pantulan
cahaya bulan yang tidak penuh yang tertutup mega, terlihat kendaraan mulai memasuki rimbunnya hutan jati yang terhampar
mengapit jalan yang menghubungkan Kota Blora dengan ibukota Kecamatan Randublatung.
Kendaraan sudah memasuki kawasan hutan jati yang dikelola Perum Perhutani.
Berarti sebentar lagi kami akan sampai di tempat tujuan, Dukuh Karangpace Desa
Klopoduwur. Subuah pedukuhan dimana tokoh masyarakat Samin, mBah Lasiyo cicit
mBah Engkrek pengikut Samin Surosentiko bermukim.
Setelah
menempuh jarak 8 kilometer dari alun-alun kota Blora kendaraan sampai ke sebuah
lorong/gang di sisi kanan jalan dengan gapura yang cukup tinggi dan cukup megah
dengan lampu neon 10 watt untuk menerangi tulisan “Dukuh Karangpace Desa
Klopoduwur”. Kendaraan belok ke kanan memasuki lorong yang menurun landai
sepanjang kurang lebih 100 m. Tidak
terlihat adanya rumah penduduk di sisi kanan-kiri lorong yang ternyata sudah
diperkeras dengan cone block ini, hanya tanaman jati berdiameter 20 – 30 cm
yang berdiri tegak.
Pukul
00.10, 10 meter menjelang sampai ke ujung lorong, baru kulihat rumah penduduk yang
ternyata mengumpul saling berdekatan di ujung lorong. Rumah penduduk yang masih
asli dan tradisionil model bekuk lulang, berdinding papan kayu jati yang
umumnya dengan ketebalam 1,5 cm, berwarna putih mangkak karena sudah lama di
labur gamping/batu kapur. Beberapa bagian dinding tampak sudah ada yang di
tambal klokop/kulit kayu jati karena mungkin berlobang atau sudah rusak dimakan
usia. Berlantai tanah dan beratap genteng tipis dengan beberapa bagian tritisan
penuwun tampak menganga tak bergenteng lagi, bisa jadi karena melorot karena kepala
genteng/kaitnya sudah gripis, atau pecah tertimpa sawo yang jatuh dari
cengkeraman kelelawar, atau bahkan terbang ditiup angin kala hujan deras.
Selang
beberapa saat, kendaraan telah berhenti di sebuah halaman bercone block yang
diterangi lampu neon 20 watt. Ketika sudah turun dari kendaraan, barulah saya
sadar kalau tempat kendaraan berhenti itu adalah halaman dari Pendpo Samin. Mau-nggak
mau perhatianku tersita oleh sebuah bangunan model Joglo ukuran 10 x 10 m yang
tersembul lebih tinggi diantara rumah-rumah tradisionil penduduk ini. Beratap
genteng sekelas genteng Jatiwangi, berlantai keramik putih di bagian dalam dan dikelilingi
teras berkeramik hitam selebar 1,5 meter yang dilengkapi dua undak-undakan,
sehingga membuat lantai pendopo menjadi 40 cm cm lebih tinggi dari halaman
pendopo sudah diperkeras dengan cone block.
Antara
teras dengan bagian dalam dibatasi oleh dinding pemisah dari kayu jati setinggi 1,25 yang didesain krawang-krawang.
Dengan 4 buah jalan masuk ke bagian dalam, total akan kita temukan sebanyak 16
tiang tiang kayu jati, yakni 4 buah tiang ukuran 20 x 20 cm terpasang di
tiap-tiap sudut pendopo, 8 buah tiang ukurang 20 x 20 cm mengapit ke empat pintu masuk dan tiang
bagian dalam dengan ukuran yang lebih besar 30 x 30 cm. Pendopo Samin yang menurut saya tergolong
cukup megah ini konon dibangun dengan tujuan untuk melestarikan situs Samin
dengan menggunakan anggaran APBD Propinsi Jawa Tengah. Terlepas dari tujuannya mengena
atau tidak, tetapi pikiranku yang pragmatis mengatakan bahwa keberadaan
bangunan pendopo Samin pasti cukup memberikan manfaat bagi masyarakat, minimal
sebagai tempat berkumpul, melepas lelah dan juga untuk menerima tamu.
Ketika
kami akhirnya duduk di teras pendopo, barulah kusadari bahwa suasana di
sekeliling pendopo ini sangat sepi dalam arti yang sebenarnya. Hanya suara
serangga malam dan sesekali suara kami bercakap saja yang terdengar. Ini pasti
karena memang kami datang di saat orang sedang enak-enaknya tidur. Secara
instink lalu aku bergumam “Lha wong awake dewe iki yo lucu, niat mertamu kok
wayahe wayah uwong ameh maling..., yo mBah Lasiyo wis turu eh nDa...”. Namun
temanku dengan optimis menjelaskan bahwa mBah Lasiyo jarang tidur, sebentar
lagi pasti juga keluar.
Benar
saja tak lama kemudian terdengar suara pintu dari rumah sebelah timur pendopo
dibuka lalu keluarlah seorang laki-laki berbadan sedang yang kemudian
menghampiri kami sambil menegur dengan ramah “Ee...wonten tamu ah... daleme
pundi kok ndalu-ndalu...”. Setelah dekat seraya mengulurkan tangannya mengajak
salaman sambil memperkenalkan dirinya “ kulo dipun paringi asmo Lasiyo..” Saat
bersalaman dalam hati saya berkata, “Oooh ini tho yang namanya sering dipanggil
sebagai mBah Lasiyo, ternyata belum terlalu tua, maksimal 53 atau 54 tahun...” Lalu
kamipun mulai mengobrol bertiga di teras Pendopo.
mas kalau mau observasi kelompok ke daerah samin harus pakai ijin dulu atau langsung datang aja mas....maturnuwun
BalasHapusasyiiikkkk... ditunggu lanjutan ceritanya..... apa isi pembicaraannya dengan mbah lasiyo bos? bikin penasaran aja.
BalasHapus