Senin, 24 Desember 2012

TOKOH SAMIN KLOPODUWUR, MBAH LASIYO CICIT MBAK ENGKREK (1)



Seperti biasa setiap kali pulang ke Blora, setelah urusan pokok selesai di siang hari, malamnya selalu lebih banyak terisi dengan acara ngobrol bersama kawan-kawan SMA seangkatan. Malam itu meskipun hanya berdua tapi kami asyik ngobrol seolah  topik pembicaraan tidak pernah ada habisnya. Tak terasa malam telah larut. Jalan Gunung Lawu ujung di depan rumah kawan yang memang termasuk kelas sepi, malam itu benar-benar jadi terasa lebih sepi. Hanya sesekali motor anak muda dengan knalpot “setan” melintas dengan suara memekakkan telinga. Ketika kulihat jam di hand phone ku, ternyata telah menunjukkan pukul 23.15. Istilahnya di kalangan kawan-kawan “sudah hampir jam cilik”.

Kalau orang normal, mestinya kami harus menyudahi kebersamaan malam itu, karena jam 03.00 dini hari saya harus sudah start lagi menuju Rembang untuk mencari bis dari Surabaya ke Semarang, agar tidak “kepancal”/ketinggalan pesawat jam 08.30 ke Jakarta. Karena kami berdua sama-sama menggunakan ilmu “aji mumpung” yang terjadi malah sepakat dengan acara spontanitas, mampir ke dukuh Karangpace Desa Klopoduwur. Sebuah dukuh dimana tinggal seorang tokoh masyarakat Samin yang sehari-harinya biasa dengan nama mbah Lasiyo. Cucu Canggah mBah Engkrek yang dalam berbagai artikel sejarah disebut sebagai salah satu tokoh pengikut Samin Surosentiko. 

Jalan Gunung Lawu terlihat sepi dan agak gelap karena rumah dan toko di sepanjang jalan sudah tertutup rapat. Detak kehidupan Blora di malam hari mulai terasa setelah sampai di Grojogan, perempatan antara Jl. G. Lawu dengan Jl. Pemuda, jalan protokol yang membujur dari arah timur Kota Blora sampai dengan Alon-alon. Beberapa speda motor terlihat di parkir di depan warung nasi pecel turun temurun di pojok perempatan Grojogan yang sekarang dikelola Bandi dan Istrinya. Beberapa polisi giliran piket berbincang-bincang sambil berjaga di depan kantor Polantas (dulunya kantor Polres).  Sesekali kami berpapasan dengan mobil dan speda motor yag melintas di jalan protokol itu. Beberapa warung tenda di atas trotoar terlihat sudah siap-siap kukut/tutup.

Suasana yang berbeda terasa ketika sampai di Alon-alon, sebuah lapangan berukuran  kurang lebih 1 hektar yang terhampar di tempat paling tinggi di tengah kota Blora. Pohon beringin tua yang dihiasi lampu warna-warni masih tampak kokoh berdiri tepat di tengahnya. Puluhan pedagang lesehan di seputar alon-alon tampak masih ramai dikunjungi para pemuda yang sedang kongkow-kongkow. Kalau sedang kosong acara, untuk menghangatkan badan sering juga saya dengan kawan-kawan memesan segelas wedang jahe susu di warung Pak Jan yang tepat berada di depan mesjid Gede (sebutan untuk mesjid Agung An-Nur).

Karena tujuannya adalah desa Klopoduwur, malam itu kami hanya melintasi seperempat putaran alon-alon dengan melintasi Bank BRI dan Bank Mandiri sebelum akhirnya belok ke selatan menyusuri jalan Mr. Iskandar. Suasana ramai kehidupan Blora di malam hari masih terasa ketika kendaraan melintas di Koplakan, sebuah tempat yang dahulu kala adalah Terminal Colt tapi telah disulap menjadi pusat kuliner sate ayam (kampung) Blora yang sudah top-markotop karena rasanya. Di tempat ini sepertinya tidak ada istilah malam. Warung nasi Tun Pek yang tepat berada di totogan Jl. Gatot Subroto terlihat sangat ramai. Situasi yang tidak berbeda juga terlihat warung nasi Putri Malam maupun warung Yu Sumirah. Bahkan tukang becak pun masih methangkring di atas becaknya seolah siap mengantar penumpang/barang. 


Satu hal yang menarik di kawasan ini adalah tentang “daun jati”. Daun jati yang akan kering menjadi “klaras” jika tidak dimanfaatkan, hampir 100 % telah menggantikan fungsi piring. Semua pesanan oleh mBak Tun Pek akan disajikan diatas pincuk daun jati, terkecuali ada permintaan khusus dari pembeli untuk menggunakan piring. 

Budaya menggunakan daun jati yang juga merupakan salah satu daya tarik Blora ini, beberapa tahun lalu sudah mendekati  “punah” dikarenakan aktifitas pengambilan daun jati oleh masyarakat hampir selalu dikorelasikan dengan urusan keamanan hutan yang dikelola Perhutani. Namun sejak berkembangnya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dan Hutan Rakyat, setiap dini hari kini selalu dapat dilihat rombongan-rombongan kecil anggota “darma wanita” masyarakat sekitar hutan yang berjalan sambil menggendong dua-tiga gulungan daun jati berdiameter sekitar 60 cm untuk dijual ke Pasar Gede Blora dengan harga Rp 25.000 per gulung. Rating daun jati telah benar-benar top lagi untuk menggantikan fungsi piring. Sebuah potret fenomena  kehidupan yang selaras alam.

Semakin bergerak ke arah selatan tepatnya setelah melintasi simpang empat Gedung GNI (sekarang menjadi Kantor Dinas PU), meskipun terang tapi suasananya terlihat sepi. Lepas dari batas desa Kaliwangan sisi selatan, lampu penerang jalan tidak terlihat lagi. Di sepanjang jalan yang berpeneduh pohon Trembesi dan Mahoni, untuk bisa melihat ruas jalan hanya mengandalkan sorot cahaya lampu kendaraan. Selang 10 menit-an, dari pantulan cahaya bulan yang tidak penuh yang tertutup mega, terlihat kendaraan mulai memasuki rimbunnya hutan jati yang terhampar mengapit jalan yang menghubungkan Kota Blora dengan ibukota Kecamatan Randublatung. Kendaraan sudah memasuki kawasan hutan jati yang dikelola Perum Perhutani. Berarti sebentar lagi kami akan sampai di tempat tujuan, Dukuh Karangpace Desa Klopoduwur. Subuah pedukuhan dimana tokoh masyarakat Samin, mBah Lasiyo cicit mBah Engkrek pengikut Samin Surosentiko bermukim.

Setelah menempuh jarak 8 kilometer dari alun-alun kota Blora kendaraan sampai ke sebuah lorong/gang di sisi kanan jalan dengan gapura yang cukup tinggi dan cukup megah dengan lampu neon 10 watt untuk menerangi tulisan “Dukuh Karangpace Desa Klopoduwur”. Kendaraan belok ke kanan memasuki lorong yang menurun landai sepanjang kurang lebih 100 m.  Tidak terlihat adanya rumah penduduk di sisi kanan-kiri lorong yang ternyata sudah diperkeras dengan cone block ini, hanya tanaman jati berdiameter 20 – 30 cm yang berdiri tegak. 

Pukul 00.10, 10 meter menjelang sampai ke ujung lorong, baru kulihat rumah penduduk yang ternyata mengumpul saling berdekatan di ujung lorong. Rumah penduduk yang masih asli dan tradisionil model bekuk lulang, berdinding papan kayu jati yang umumnya dengan ketebalam 1,5 cm, berwarna putih mangkak karena sudah lama di labur gamping/batu kapur. Beberapa bagian dinding tampak sudah ada yang di tambal klokop/kulit kayu jati karena mungkin berlobang atau sudah rusak dimakan usia. Berlantai tanah dan beratap genteng tipis dengan beberapa bagian tritisan penuwun tampak menganga tak bergenteng lagi, bisa jadi karena melorot karena kepala genteng/kaitnya sudah gripis, atau pecah tertimpa sawo yang jatuh dari cengkeraman kelelawar, atau bahkan terbang ditiup angin kala hujan deras. 



Selang beberapa saat, kendaraan telah berhenti di sebuah halaman bercone block yang diterangi lampu neon 20 watt. Ketika sudah turun dari kendaraan, barulah saya sadar kalau tempat kendaraan berhenti itu adalah halaman dari Pendpo Samin. Mau-nggak mau perhatianku tersita oleh sebuah bangunan model Joglo ukuran 10 x 10 m yang tersembul lebih tinggi diantara rumah-rumah tradisionil penduduk ini. Beratap genteng sekelas genteng Jatiwangi, berlantai keramik putih di bagian dalam dan dikelilingi teras berkeramik hitam selebar 1,5 meter yang dilengkapi dua undak-undakan, sehingga membuat lantai pendopo menjadi 40 cm cm lebih tinggi dari halaman pendopo sudah diperkeras dengan cone block. 

Antara teras dengan bagian dalam dibatasi oleh dinding pemisah dari kayu  jati setinggi 1,25 yang didesain krawang-krawang. Dengan 4 buah jalan masuk ke bagian dalam, total akan kita temukan sebanyak 16 tiang tiang kayu jati, yakni 4 buah tiang ukuran 20 x 20 cm terpasang di tiap-tiap sudut pendopo, 8 buah tiang ukurang 20 x 20 cm  mengapit ke empat pintu masuk dan tiang bagian dalam dengan ukuran yang lebih besar 30 x 30 cm.  Pendopo Samin yang menurut saya tergolong cukup megah ini konon dibangun dengan tujuan untuk melestarikan situs Samin dengan menggunakan anggaran APBD Propinsi Jawa Tengah. Terlepas dari tujuannya mengena atau tidak, tetapi pikiranku yang pragmatis mengatakan bahwa keberadaan bangunan pendopo Samin pasti cukup memberikan manfaat bagi masyarakat, minimal sebagai tempat berkumpul, melepas lelah dan juga untuk menerima tamu.  



Ketika kami akhirnya duduk di teras pendopo, barulah kusadari bahwa suasana di sekeliling pendopo ini sangat sepi dalam arti yang sebenarnya. Hanya suara serangga malam dan sesekali suara kami bercakap saja yang terdengar. Ini pasti karena memang kami datang di saat orang sedang enak-enaknya tidur. Secara instink lalu aku bergumam “Lha wong awake dewe iki yo lucu, niat mertamu kok wayahe wayah uwong ameh maling..., yo mBah Lasiyo wis turu eh nDa...”. Namun temanku dengan optimis menjelaskan bahwa mBah Lasiyo jarang tidur, sebentar lagi pasti juga keluar. 

Benar saja tak lama kemudian terdengar suara pintu dari rumah sebelah timur pendopo dibuka lalu keluarlah seorang laki-laki berbadan sedang yang kemudian menghampiri kami sambil menegur dengan ramah “Ee...wonten tamu ah... daleme pundi kok ndalu-ndalu...”. Setelah dekat seraya mengulurkan tangannya mengajak salaman sambil memperkenalkan dirinya “ kulo dipun paringi asmo Lasiyo..” Saat bersalaman dalam hati saya berkata, “Oooh ini tho yang namanya sering dipanggil sebagai mBah Lasiyo, ternyata belum terlalu tua, maksimal 53 atau 54 tahun...” Lalu kamipun mulai mengobrol bertiga di teras Pendopo.

2 komentar:

  1. mas kalau mau observasi kelompok ke daerah samin harus pakai ijin dulu atau langsung datang aja mas....maturnuwun

    BalasHapus
  2. asyiiikkkk... ditunggu lanjutan ceritanya..... apa isi pembicaraannya dengan mbah lasiyo bos? bikin penasaran aja.

    BalasHapus