Pembalakan liar dan perdagangan kayu illegal telah menjadi
isyu global yang membawa keprihatinan masyarakat international. Pemerintah
Indonesia berkomitmen atas pemberantasan pembalakan liar dan perdagangan kayu
liar, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.
Terlebih Indonesia adalah negara dengan tutupan hutan terluas ketiga di dunia
setelah Brazil dan Kongo. Sebagai wujud dari komitmen tersebut tanggal 11-13
September 2001, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tingkat
Menteri untuk membahas penanggulangan illegal logging dan tata kelola kehutanan. Pertemuan
tersebut menghasilkan Forest
Law Enforcement and Governance (FLEG) Declaration yang kemudian
lebih dikenal sebagai Deklarasi Bali.
Dalam upaya mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (Good Governance) sesuai dengan
mandat deklarasi Bali, Departemen Kehutanan menetapkan Kriteria dan Indikator
Kinerja Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) pada Unit Pengelolaan
dengan menerbitkan SK Menhut No. 4795/Kpts-II/2002 tanggal 03 Juni
2002. Pada tanggal yang sama juga diterbitkan SK Menhut No.
4796/Kpts-II/2002 tentang Tata Cara Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Alam Produksi Lestari Pada Unit Pengelolaan yang mewajibkan kepada setiap Unit
Manajemen HPH untuk menjalani Penilaian Kinerja PHAPL oleh Lembaga Penilai
Independen (LPI) Mampu. Untuk melengkapi dua SK Menhut tersebut selanjutnya
diterbitkan SK Menhut No. 6420/Kpts-II/2002 tanggal 24 Juni 2002 tentang
Persyaratan Dan Tata Cara Penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI) Mampu Pada
Hutan Alam. Implementasi dari ketiga SK Menhut tersebut menghasilkan penilaian
Kinerja PHAPL pada 24 Unit Pengelolaan yang dilaksanakan oleh 12 Lembaga
Penilai Independen (LPI) Mampu.
Tahun 2003 dilakukan penyempurnaan SK Menhut No.
4796/Kpts-II/2002 dengan terbitnya dengan SK No. 208/Kpts-II/2003 tanggal 10
Juli 2003 tentang Tata Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Pada Hutan Alam Di Unit Manajemen Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara
Lestari. Selain itu juga dilakukan penambahan sebanyak 13 LPI-Mampu sehingga
menjadi berjumlah 25 LPI-Mampu. Dalam perkembangannya jumlah LPI-Mampu
mengalami beberapa kali pengurangan seiring dengan rekomendasi-rekomendasi Tim
Evaluasi (TE) dari unsur pakar yang diberi tanggung jawab melakukan evaluasi
terhadap kualitas Laporan Hasil Penilaian LPI-Mampu.
Penerapan model penilaian kinerja PHPL pada tahun 2003
diperluas pada unit pengelolaan hutan tanaman dan pada industri primer.
Penilaian kinerja pada unit pengelolaan hutan tanaman diatur melalui Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 177/Kpts-II/2003 tanggal 12 Juni 2003 tentang Kriteria
dan Indikator Pengelolaan Hutan Secara Lestari Pada Unit Manajemen Usaha
Pemanfaatan Hutan Tanaman. Dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 180/Kpts-II/2003
tanggal 12 Juni 2003 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Penilaian Lembaga
Penilai Independen (LPI) Mampu Pada Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman.
Sedangkan penilaian kinerja pada industri primer diatur melalui Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor : 303/Kpts-II/2003 tanggal 05 September 2003 tentang
Tata Cara Penilaian Kinerja Industri Primer Hasil Hutan Kayu dan Keputusan
Menteri Kehutanan No. 325/Kpts-II/2003 tanggal 19 September 2003 tentang
Persyaratan Dan Tata Cara Penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI) Mampu Di
Bidang Industri Primer Hasil Hutan Kayu Dengan Kapasitas Di Atas 6.000 M3 Per
Tahun.
Dalam perkembangannya penilaian kinerja pada unit
pengelolaan hutan tanaman praktis berjalan pada tahun 2003 dan 2005. Penilaian
kinerja pada industri primer berjalan pada tahun 2003. Sedangkan kegiatan
penilaian kinerja PHAPL pada hutan alam berjalan efektif dari tahun 2002 sampai
dengan tahun 2008 sebelum kemudian LPI Mampu diganti dengan LP-PHPL yang
diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasionnal (KAN) pada tahun 2009.
Seiring dengan percepatan pencapaian tata kelola kehutanan
yang baik melalui pelaksanaan penilaian kinerja pada Unit Pengelolaan hutan
alam, hutan tanaman dan industri primer, pasca deklarasi Bali Departemen
Kehutanan terus mengintensifkan upaya pemberantasan illegal logging. Pelaksanaan
pemberantasan illegal logging tersebut dilakukan melalui pendekatan operasi
penindakan (hard approach)
secara konsisten bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan pendekatan
pembenahan sistem peredaran dan perdagangan kayu dan produk kayu (soft approach). Selain melalui dua
pendekatan tersebut, upaya pemberantasan illegal loging juga ditempuh melalui
jalur kerjasama bilateral untuk menutup akses perdagangan kayu ilegal di pasar
luar negeri.
Bulan April 2002 Menteri Kehutanan melakukan pendatanganan
MoU kerjasama penanggulangan illegal logging dan illegal trade of forest products dengan
Pemerintah Inggris, disusul kemudian pada bulan Desember 2002 Menteri
Kehutanan juga melakukan penandatangan MoU sejenis dengan Pemerintah Cina.
Selanjutnya pada bulan Juni 2003 Menteri Kehutanan melakukan
pendatanganan nota kesepahaman (MoU) dan kerjasama penanggulangan illegal logging (penebangan
liar) dan illegal trade (perdagangan
liar) hasil hutan dengan Pemerintah Jepang.
Tahun 2003 Indonesia mulai mengembangkan Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK) dengan melibatkan para pihak dan didasarkan pada
prinsip tata kelola hutan yang baik (Governance), kredibilitas (Credibility) dan keterwakilan para pihak (Representativeness). SVLK menjadi
penting dalam perjanjian kemitraan antara Indonesia dengan Uni Eropa karena
pada dasarnya memiliki kesetaraan dengan Sistem Jaminan Legalitas Kayu (Timber Legality Assurance System : TLAS).
Dengan SVLK diharapkan mampu menjamin bahwa kayu dan produk kayu
berasal dari sumber yang legal dan membangun kepercayaan masyarakat
internasional (negara tujuan ekspor produk kayu).
Disisi yang lain sebagai negara konsumen Uni Eropa secara
aktif melakukan inisiatif Forest
Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT). FLEGT
merupakan kebijakan Uni Eropa untuk menanggulangi masalah pembalakan liar dan
perdagangan ilegal produk hasil hutan yang terjadi secara global. Kebijakan
FLEGT Uni Eropa tersebut diadopsi dalam Rencana Aksi FLEGT yang diluncurkan
tahun 2003. Salah satu point dari rencana aksi FLEGT adalah komitmen Uni Eropa
untuk mengembangkan Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreements/VPA) dengan Negara-negara
produsen kayu untuk mencegah hasil produk kayu illegal memasuki pasar Eropa.
Tahun 2005 Uni Eropa mengadopsi Regulasi No. 2173 yang berisi tentang skema
lisensi bagi impor kayu melalui FLEGT-VPA antara Uni Eropa dengan negara
produsen kayu.
Sejalan dengan proses pengembangan SVLK yang terus berjalan
secara multi pihak, pada tahun 2007 mulai dilakukan perundingan dan negosiasi
FLEGT-VPA antara Indonesia – Uni Eropa. Awal perundingan dan negosiasi
tersebut ditandai dengan penandatanganan Pernyataan Bersama di Brussels antara Menteri Kehutanan
(MS Kaban) dan Komisioner Uni Eropa Bidang Lingkungan Hidup (Stavros Dimas) dan
Komisioner Bidang Kerjasama Pembangunan (Louis Michel). Pada prinsipnya,
FLEGT-VPA adalah suatu mekanisme praktis verifikasi legalitas kayu, agar kayu
yang diproduksi negara penghasil kayu dan diekspor ke Uni Eropa dapat dikenali
dengan menggunakan identitas atau perijinan yang dikeluarkan oleh negara mitra
dan telah diakui oleh Uni Eropa (lisensi FLEGT).
Pada bulan Juni 2009 Pemerintah RI c.q Kementerian Kehutanan
menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tanggal
12 Juni 2009 mengenai Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Pada Pemegang Izin
atau Pada Hutan Hak. Peraturan tersebut sejatinya merupakan fusi antara Sistem
Penilaian Kinerja PHPL yang telah berjalan sejak 2002 dengan Sistim Verifikasi
Legalitas Kayu yang dikembangkan secara multipihak sejak 2003. Penerbitan Permenhut
No. P.38/Menhut-II/2009 tersebut murupakan wujud dari komitmen perbaikan
tatakelola kehutanan dalam promosi perdagangan kayu legal dan pemberantasan
kayu illegal yang sejalan dengan Deklarasi Bali 2001 tentang Forest Law
Enforcement and Governance (FLEG).
Kesesuaian Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 tersebut
terhadap prinsip tata kelola hutan yang baik (Governance), kredibilitas (Credibility) dan keterwakilan para pihak (Representativeness) dalam
Permenhut tersebut dinyatakan dalam bentuk :
- Sasaran penilaian meliputi : IUPHHK-HA ; IUPHHK-HT ; IUPHHK
HTR ; IUPHHK HKm ; IUPHHK RE, IPK, IUIPHHK , IUI Lanjutan dan Pemilik Hutan Hak
(Hutan Rakyat) ;
- Lingkup penilaian, mencakup : Penilaian Kinerja PHPL,
Verifikasi Legalitas Kayu (Hutan) dan Verifikasi Legalitas Kayu (Industri) ;
- Pelaksanaan Verifikasi Legalitas Kayu dilakukan oleh pihak
ketiga independen yaitu Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI).
- Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) harus
mendapat akreditasi dari badan akreditasi independen yaitu Komite Akreditasi
Nasional (KAN).
- Memberikan ruang kepada Lembaga Pemantau Independen dari
unsur masyarakat, lembaga/jaringan yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan
untuk menyampaikan keberatan/masukan dalam proses dan penerapan
system.
Dialog VPA semakin intensif dilakukan seiring dengan
terbitnya Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009. Parlemen Uni Eropa pada tahun 2010
mengesahkan EUTR (EU – Timber Regulation) No.995/2010 yang melarang pelaku
pasar di EU untuk memperdagangkan kayu dan produk kayu illegal, sehingga
seluruh produk yang masuk wilayah EU harus melalui uji tuntas (due
diligence). Peraturan Perkayuan Uni Eropa /EUTR secara effektif
akan mulai diberlakukan pada Maret 2013.
Dalam rangka penyelesaian perundingan FLEGT – VPA
Indonesia-Uni Eropa, pada tanggal 04 Mei 2011 Menteri Kehutanan RI, Zulkifli
Hasan, dan Komisioner Perdagangan Uni Eropa, Karel de Gucht, melakukan
penandatanganan Pernyataan Bersama di Jakarta. Pernyataan Bersama
ini sebagai wujud komitmen untuk memulai proses penandatanganan dan
penjajakan penerapan awal FLEGT-VPA Indonesia-Uni Eropa. Disepakatinya
FLEGT-VPA Indonesia-Uni Eropa merupakan bentuk pengakuan Uni Eropa terhadap
sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) Indonesia. Indonesia tidak saja
merupakan Negara Asia pertama yang menyelesaikan negosiasi VPA dengan Uni
Eropa, tetapi juga merupakan Negara eksportir kayu terbesar yang memasuki
proses negosiasi untuk perjanjian VPA. Melalui perjanjian ini, Uni Eropa
dan Negara-negara anggotanya akan menjamin akses yang bebas dan tak terbatas
bagi seluruh produk-produk kayu berlisensi FLEGT yang datang dari Indonesia dan
akan meningkatkan pencitraan produk-produk kayu Indonesia berlisensi FLEGT di
Uni Eropa.
Sejalan dengan capaian perkembangan kerjasama FLEGT-VPA yang
telah memasuki tahap penjajakan penerapan awal FLEGT-VPA antara Indonesia - Uni
Eropa, pada tanggal 11 November 2011 Menteri Kehutanan meresmikan tanda
V-Legal untuk kayu dan produk kayu legal. Acara peresmian tersebut dilakukan
bersamaan dengan saat penyerahan Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) untuk lima
kelompok hutan rakyat di Lampung Tengah dengan dihadiri Gubernur Lampung dan
Para Duta Besar Negara pengimpor kayu. Selanjutnya Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009
dirubah dengan Permenhut No. P.68/Menhut-II/2011 tanggal
22 Desember 2011.
Untuk mendukung implementasi SVLK pada tahun 2012
dikembangkan Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) secara online. Sistim ini
didesain untuk memungkinkan memantau perkembangan ekspor produk industri
kehutanan dari Indonesia ke berbagai pasar ekspor di dunia secara real time.
Pencanangan SILK secara online dilakukan tanggal 1 Agustus 2012 oleh Menteri
Kehutanan, Wakil Menteri Perdagangan, dan Wakil Menteri Perindustrian. Unit
informasi verifikasi legalitas kayu (License
Informaton Unit / LIU ) menjadi pengelola sistem informasi
terkait legalitas kayu dan produk kayu untuk tujuan ekspor dan terhubung dengan InaTrade di Kementerian
Perdagangan dan Indonesia
National Single Window (INSW) di Kementerian Keuangan c.q.
Ditjen Bea dan Cukai dan juga dengan otoritas kompeten negara tujuan ekspor.
Sejalan dengan perkembangan tersebut kemudian diterbitkan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 64/M-DAG/PER/10/2012 tanggal 22 Oktober 2012 yang mengatur
ekspor produk industri kehutanan wajib menggunakan Dokumen V-Legal.
Dalam rangka pemastian bahwa prosedur pengiriman kayu
menggunakan Dokumen V-Legal dan penanganan lisensi-lisensi di negara pasar
berfungsi serta untuk mengidentifikasi langkah-langkah perbaikan apabila
diperlukan, tanggal 23 Oktober 2012 dilakukan uji pengapalan (shipment test) produk kayu
menggunakan Dokumen V-Legal di Kendal. Acara shipment test ini dihadiri Wakil Menteri Perdagangan dan
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Julian Wilson. Shipment test pertama ke
Eropa tersebut diikuti oleh 17 eksportir Indonesia dan 21 importir Uni Eropa.
Selanjutnya Permenhut No. P.68/Menhut-II/2011 kemudian
diperbaiki dengan Permenhut No. P.45/Menhut-II/2012 tanggal 14
Desember 2012 dan Permenhut No. P.42/Menhut-II/2013 tanggal 16 Agustus
2013.
Setelah sekitar enam tahun bernegosiasi, FLEGT-VPA
Indonesia-Uni Eropa akhirnya ditandatangani pada tanggal 30 September 2013 oleh
Menteri Kehutanan RI dengan Mr. Janez Potocnik selaku presiden Uni Eropa serta
Mr. Valentinas Mazuronis, selaku Commissioner Uni Eropa. Penandatangan FLEGT-VPA antara
Indonesia dengan Uni Eropa ini merupakan perjanjian pertama di dunia yang telah
dilengkapi dengan sistem penjaminan legalitas kayu. Sejalan dengan itu kemudian
diterbitkan Permendag No 81/M-DAG/PER/12/2013 tanggal 27 Desember 2013
untuk menggantikan Permendag sebelumnya.
Perjanjian FLEGT-VPA selanjutnya diratifikasi oleh kedua
belah pihak. Indonesia meratifikasi dengan Perpres 21/2014, sementara Parlemen
EU meratifikasi pada tanggal 27 Februari 2014, disusul kemudian dengan
pembentukan Joint Preparatory
Committee (JPC) dan Joint Expert Meeting (JEM) agar FLEGT-VPA dapat
diimplementasikan secara penuh. Mempertimbangkan kesiapan IKM furniture, maka
lewat perundingan tiga menteri, yaitu Menteri Perindustrian, Menteri
Perdagangan, dan Menteri LHK, tenggang waktu implementasi penuh SVLK kemudian
kembali diundur. Pengunduran tersebut menjadi latar belakang diterbitkannya Peraturan
Menteri LHK No. P.95/Menhut-II/2014. Untuk proses ekspor industri kehutanan, terbit Permendag No
97/M-DAG/PER/12/2014 tanggal 24 Desember 2014 yang kemudian
diperbaharui dengan Permendag No 66/M-DAG/PER/08/2015 tanggal 27
Agustus 2015.
Dalam kerangka deregulasi Permendag No 66/M-DAG/PER/08/2015
tanggal 27 Agustus 2015 digantikan dengan Permendag No. 89/ M-DAG/PER/10/2015 dirilis
pada 19 Oktober 2015. Salah satu ketentuan Permendag tersebut adalah menghapus
kewajiban SVLK bagi 11 Pos Tarif /HS. Ketentuan penghapusan kewajiban
SVLK oleh banyak pihak dikhawatirkan berpotensi menjadi ganjalan terhadap
pengakuan SVLK yang secara multipihak telah diperjuangkan sejak tahun 2003.
Mempertimbangkan perkembangan kerjasama FLEGT-VPA yang telah dicapai situasi
strategis yang menjadi concern para pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri LHK No. P.30/Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016 tanggal
1 Maret 2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan atau Pada Hutan
Hak. Sedangkan Kementrian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri
Perdagangan No. 25/M-DAG/PER/04/2016 tanggal 15 April 2016 tentang
Perubahan Peraturan Menteri Perdagangan No. 89/M-DAG/PER/10/2015 Tentang
Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Melalui Permendag terakhir tersebut
kelonggaran yang diterapkan untuk 15 pos tariff dicabut dan diwajibkan kembali
memiliki SVLK.
Seminggu setelah pemberlakuan Permendag 25 atau tanggal 21
April 2016, dilakukan Kesepakatan Bersama tentang penyetaraan SVLK dengan
lisensi FLEGT yang dilakukan oleh Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker,
Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, dan Presiden Indonesia Joko Widodo di
Brussels, Belgia. Sebagai tindak lanjut menyusuli kesepakatan penyetaraan SVLK
– lisensi FLEGT tersebut, pada tanggal 18 Mei 2016 dilakukan sidang JIC ke-4
di Brussels untuk membahas penerapan lisensi FLEGT yang bertujuan
menjamin legalitas ekspor produk kayu Indonesia berlisensi secara resmi.
Berikutnya sidang Komite Implementasi Gabungan (Joint Implementation Committee/ JIC)
ke-5 dilaksanakan di Yogyakarta tanggal 15 September 2016. Dalam sidang JIC
ke-5 tersebut akhirnya Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menyepakati
penerbitan bahwa Lisensi "Forest Law Enforcement Governance and
Trade" atau "FLEGT" atas produk kayu asal Indonesia di pasar Uni
Eropa resmi diberlakukan mulai 15 November 2016. Peresmian tersebut ditandai
dengan penandatanganan Kesepakatan Kemitraan Sukarela (VPA) antara Kepala
Deputi Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Charles-Michel Geurts dan Dirjen
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Putera Parthama.
Keputusan tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara
pertama di dunia yang mencapai tonggak penting ini dalam upaya global
memberantas pembalakan liar serta perdagangan kayu ilegal. Dengan lisensi
FLEGT, mulai 15 November 2016 produk kayu asal Indonesia akan lebih kompetitif
karena bisa bebas memasuki pasar 28 negara anggota Uni Eropa tanpa harus
melalui uji tuntas (due diligence).
Hal tersebut tidak hanya membuat bisnis produk kayu menjadi lebih efisien
bagi pengusaha baik di Indonesia maupun di EU, namun juga memperkuat tata
kelola dan menjamin perlakuan yang adil bagi semua pemangku kepentingan
kehutanan.
Sumber : www.almasentra.com